Mataku terus terfokus pada sosok laki-laki di depan ku,
duduk berhadapan. Dia sibuk dengan potongan pizza kecil di piring nya sedangkan
aku terus diam memperhatikan. Di aduknya soda biru yang baru saja di hidangkan,
ini baru pertama kalinya dia duduk di tempat aneh seperti ini.
“di coba ya, siapa tau suka” ujarku membuka permbicaraan. Dia
mengangguk pelan. Dengan lahap di cobanya satu persatu potongan pizza itu, aku
tetap memperhatikan.
“doyan? Laper? Rakus?” Tanya ku
“bales dendam, dari pagi belum makan” jawabnya dengan gaya
khas nya yang polos. Biarlah, mungkin efek puasa. Fikirku. Aku pun sibuk dengan
satu potongan pizza yang baru saja aku ambil, lalu laki-laki itu mengggerakan
tangannya menggapai potongan pizza selanjutnya.
“ini bukan efek puasa kan? Ini karna sesuatu kan?” Tanya ku
lagi, laki-laki itu terus menunduk memotong satu demi satu lalu melahapnya
dengan cepat.
“engga, ini karna lapar kok” katanya lagi sambil tetap
menundukan kepalanya.
“ehem, lagi ngomong sama meja yah?” sindirku pelan sambil
mengaduk sodaku. Dia tersenyum dan mengangkat kepalanya perlahan.
“maaf” katanya tapi tetap focus dengan pizza nya.
Ada sosok yang berbeda dari laki-laki bermata tajam satu
ini, ada sesuatu yang tak ku kenali saat menatap matanya, ada sesuatu yang
hilang, ada sesuatu yang sedang dia fikirkan.
“bisa kalau ngomong matanya ga kemana-mana?” pinta ku
serius. Dia mengangguk tapi tetap terus memotong kasar pizza di hadapannya. Ada
yang salah.
“pulang dari sini kita makan bakso ya” akhirnya dia bicara. Aku
berhenti mengunyah pizza yang terlanjur masuk ke mulutku.
“serius?? Ini masih kurang??” Tanya ku heran.
“iya serius” jawabnya dengan tetap memotong makanannya.
Apa seperti ini tingkah seorang laki-laki polos yang selama
ini ku kenal? Apa seperti ini tingkahnya ketika sedang kecewa? Apa seperti ini
sikapnya jika sedang terluka? Atau apa dia hanya bertingkah seperti ini saat
dia makan bersama seseorang yang tak di ingini nya? Dia tetap menundukan
wajahnya, dan kadang melirik kan matanya ke setiap penjuru sudut tempat ini,
sedangkan aku berusaha menangkap tatapan matanya agar bisa ku baca sedikit saja
perasaan yang sedang dia rasakan. Dia tau, jika matanya dan mataku bertemu,
maka aku bisa tau apa yang sedang dia rasakan, dia tau dengan menatapnya aku tau
apa yang dia rasakan, dia tau maka dari itu dia menghindari kontak mata dengan
ku.
Dia dalam keadaan kecewa berat, dia sedang dalam keadaan
terluka parah, dia sedang berusaha tetap tegar duduk di hadapanku, dia sedang
berusaha menyelamatkan harga dirinya, dia sedang mengumpulkan tenaga untuk
tetap tersenyum kepadaku, dia.. ahh kenapa ada orang sebaik dia? Kenapa ada
orang selembut dia? Kenapa ada orang setulus dia? Kenapa ada orang yang rela
lakukan apa saja tanpa memikirkan dirinya sendiri? Kenapa ada?
“mau diceritain sesuatu ga?” ujarku mencairkan suasana. Dia mengangguk.
“pernah denger kata pepatah sekeras-kerasnya batu pasti
hancur juga kalau di tetesin air terus?” dia mengangguk lagi.
“pernah denger kata-kata kalau sekeras apapun hati seorang
wanita pasti luluh juga kalau terus di tetesin kasih sayang?” dia kembali
mengangguk.
“bisa paham sejauh ini?” Tanya ku. Dia menggeleng.
“hufftt.. ngerasain suatu perubahan ga dari awal kita ketemu
sampai kita duduk di sini, detik ini?” tanyaku terus, dia menatapku, lalu
mengangguk.
“yaudah, sampai situ paham pasti kan?” jawabku singkat dan
lanjutkan potongan pizza terakhirku. Dia tetap diam, pandangannya kosong.
Laki-laki nekat ini tetap dalam pendiriannya, tetap dalam
keteguhannya, tetap dalam keyakinannya. Gak gampang memang, jika aku di
posisinya pun aku pasti ngelakuin hal yang sama sepertinya, diam tak banyak
bicara.
Kuletakkan pisau dan garpu yang sejak tadi kupegang tapi tak
ku gunakan, kulipat tanganku di meja dan fokuskan pandangan ku pada cara dia
menuangkan sauce ke piring nya, ini tuangan yang entah keberapa kali. Sesekali dia
meringiskan wajahnya menahan sesuatu yang sesak di dada nya, aku masih dalam
diam ku menatapnya, seperti seseorang yang sedang meluapkan emosi pada sebuah
pizza, memotong kasar hingga terbentur piring, mengunyah cepat seperti menahan
teriakan, seperti ingin jatuhkan air mata tapi kering dahulu karena ruangan ini
sangat dingin, seperti itu keadaan saat aku menatapnya.
Sedotan terakhir dari soda biru nya, “ boleh minta?” Tanya nya
sambil menunjuk kearah soda ku yang masih setengah lagi. Aku mengangguk dan
menaruhnya di hadapan laki-laki itu. Apa rasanya jadi dia ya? Apa jadinya jika
aku yang ada di posisi dia sekarang? Apa aku tetap bisa tersenyum dan
bertingkah konyol seperti apa yang dia lakuin sekarang? Terbuat dari apa hati
pria ini?
“sebut satu hal aja, gimana caranya aku bisa buat kamu
bahagia saat ini?” Tanya ku serius saat dia mulai menarik panjang nafas nya dan
menata rapi pisau dan garpu di atas piringnya. Dia kembali menundukkan
kepalanya.
“satu aja, aku pasti bisa lakuin kok, asal kamu bahagia,
selama ini kan Cuma kamu yang mikirin kebahagiaan aku, sekarang aku yang minta,
sebut satu hal, aku pasti lakuin” lanjutku lagi dengan terus berusaha menatap
matanya.
“ga bisa, kamu pasti ga bisa” jawabnya
“bisa” jawab ku tegas. Dia tersenyum kecil, senyum kicut
yang menurutku itu sindirian halus buatku.
“bisa ngelakuin kayak yang aku lakuin?” ujarnya pelan.
“insyallah bisa ” jawabku dengan senyum simpulku
Dia diam kembali, aku pun diam. Sama-sama diam dan
mengalihkan pandangan ke tepian jalan, menyeka sudut mata diam-diam.
Pria bermata tajam, beralis tebal ini belum mengerti apa
yang sebenarnya terjadi, belum paham betul maksud yang ku lontarkan selama ini,
yang dia tau dia punya sebuah rasa yang harus dia sampaikan, tak peduli apapun
yang terjadi nanti, yang dia ingini sebuah jawaban atas segala pertanyaan yang
membayangi setiap malam di mimpinya, yang dia rasakan itu lah yang dia
tunjukan, bahkan memang terkesan berlebihan, terkesan tak masuk dia akal, tapi
siapapun yang di perlakukannya akan sangat merasa istimewa.Terima kasih ngana ;)